Padmasana merupakan bangunan suci untuk men-stana-kan Ida
Sanghyang Widhi sebagai
simbolis dan gambaran dari makrokosmos atau alam semesta (buana agung).
Bangunan suci ini dapat dijumpai hampir di seluruh bangunan suci Hindu di Bali
maupun di luar Bali — dari Pura Kawitan, Kahyangan Desa, Swagina, sampai
Kahyangan Jagat. Bahkan, bangunan suci ini ditempatkan sebagai pelinggih utama.
Namun, bangunan suci ini masih banyak menyimpan misteri simblolis dan filosofis
yang perlu dikupas lebih dalam. Lantas, apa sebenarnya perbedaan padmasana,
padma kurung, padmasari atau padma campah?
DI
Lontar “Dwijendra Tattwa” disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan
oleh Danghyang Dwijendra, atau (nama lainnya) Danghyang Nirartha atau Pedanda
Sakti Wawu Rauh. Dia datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode pemerintahan
Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan tujuan untuk menyempurnakan
kehidupan agama di Bali.
Sebelum
kedatangannya, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik — penduduk
memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal. Ajaran itu
diterima dari para maharsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi
Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu
Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk
pelinggih sebagai simbol atau niyasa ketika itu hanya Meru Tumpang Tiga,
Kemulan Rong Tiga, Bebaturan, dan Gedong. Pura-pura di Bali pada saat itu tidak
ada yang memakai Padmasana, kondisi ini sampai sekarang masih dijumpai terutama
pada pura-pura kuno di Bali.
Disebutkan,
pada saat memasuki Pulau Bali, Danghyang Dwijendra masuk ke dalam mulut naga
besar dan di dalamnya ia melihat bunga teratai sedang mekar tanpa sari. Hal ini
menggambarkan, naga itu adalah Naga Anantabhoga yang merupakan simbol dari
Pulau Bali. Agama Hindu sudah berkembang di Bali dengan baik tetapi pemujaan
hanya ditujukan kepada dewa-dewa sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi.
Dewa-dewa inilah yang disimbolkan sebagai daun bunga teratai yang mekar tanpa
sari.
Danghyang
Nirartha lalu menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk pelinggih berupa
Padmasana, menyempurnakan simbol (niyasa) yang mewujudkan Hyang Widhi secara
lengkap ditinjau dari segi konsep horisontal maupun vertikal. Sehingga,
pembangunan Padmasana dapat menjernihkan kekaburan yang terjadi secara fisik
bangunan antara pelinggih pemujaan untuk Hyang Widhi dan pelinggih untuk roh
suci leluhur yang terjadi saat itu. Sehingga kini, Padmasana dapat dijumpai di
seluruh pura di Bali maupun luar Bali sebagai bangunan pelinggih utama.
Makna
dan Simbol
Padmasana
berasal dari bahasa Kawi, padma artinya bunga teratai, batin, atau pusat.
Sedangkan asana artinya sikap duduk, tuntunan, nasihat, atau perintah (Prof.
Drs. Wojowasito, 1977). Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah
sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua
pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari
dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam
semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam
Lontar “Padma Bhuana”, Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana.
Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang
sebenarnya. Dalam Lontar “Dasa Nama Bunga” disebut, bunga teratai adalah
rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam — akarnya menancap di
lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara).
Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi
Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan
arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).
Posisi
padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas,
sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak
sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak
Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini
akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang
ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani,
1998).
Isi
pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma
terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk
kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu
tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah
yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama Padmasana — Dewa-dewa dan Ida Sang
Hyang Widi bertahta di atasnya.
Simbol
dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan
swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan
Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk
singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak
dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang
berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah
dan Om Dewa Pratistha ya namah.”
Bentuk
dan Fungsi
Bentuk
bangunan Padmasana serupa dengan candi yang dikembangkan dengan pepalihan.
Padmasana tidak menggunakan atap. Bangunannya terdiri dari bagian-bagian kaki
yang disebut tepas, badan atau batur dan kepala yang disebut sari.
* Pada
bagian kaki (dasar) terdapat ukiran berwujud Bedawang Nala (empas atau
kura-kura) yang dibelit Naga Anantaboga dan Naga Basuki. Kemudian juga ada
ukiran bunga teratai dan karang asti (gajah).
* Pada
bagian badan (tengah) terdapat ragam hias berupa pepalihan, karang goak,
simbar, karang asti, burung garuda, angsa, dan patung dewa-dewa astadikpalaka
(dewa-dewa penjaga kiblat arah angin) seperti Dewa Iswara (timur), Brahma
(selatan), Mahadewa (barat), Wisnu (utara), Maeswara (tenggara), Rudra (barat
daya), Sankara (barat laut) dan Sambhu (timur laut) dan dewa ini membawa
senjata sesuai dengan atributnya. Ada juga Padmasana dengan burung garuda yang
mendukung Dewa Wisnu membawa tirta amerta seperti Padmasana di Pura Taman Ayun.
* Pada
bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang terbuat
dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya terdapat ulon yang
bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang
Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan
sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan
alam semesta.
Fungsi
utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah
Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan
segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang
Widhi dengan berbagai sebutannya — Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi
yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri
Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan
Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ di-stana-kan
Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri).
Memperhatikan
makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang
digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi
yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang
mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte
Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri
yang berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar